HEADLINE
Mode Gelap
Artikel teks besar

Curhat Mahasiswa: Kenapa Skripsi Bikin Overthinking?

Buat banyak mahasiswa tingkat akhir, skripsi adalah momok yang sering datang menghantui, bahkan sebelum tidur. 

Meskipun secara teknis cuma tugas akhir, nyatanya skripsi punya daya magis yang bisa bikin overthinking seminggu penuh, padahal baru buka laptop satu paragraf. 

Tapi sebenarnya, kenapa sih skripsi bisa sebegitu beratnya? Kenapa bisa bikin mental naik turun dan pikiran muter terus kayak spin laundry

Yuk, kita curhatin bareng—karena kadang yang kamu butuhkan bukan solusi, tapi validasi HAHAHA. 

Skripsi bikin overthinking
Ilustrasi (sumber: kompasiana)

Takut salah, tapi gak tau harus mulai dari mana

Banyak mahasiswa merasa takut salah sebelum mereka benar-benar memulai. Padahal, skripsi itu bukan karya ilmiah untuk Nobel. 

Tapi ketika dosen bilang, “Cari gap penelitian yang relevan,” langsung panik, bingung harus mulai dari jurnal mana, topik apa, dan ujung-ujungnya malah buka YouTube.

Overthinking muncul karena takut salah langkah. Akhirnya, bukannya nulis, kamu malah mikir terus: 

“Kalau bab 1 salah, nanti revisi panjang lagi.”

“Kalau datanya gak valid, skripsiku ditolak.” 

Padahal, skripsi memang proses yang penuh koreksi. Tapi karena terlalu takut, banyak mahasiswa jadi stuck di tahap awal. 

Dosen pembimbing = mood swing simulator 

Pernah ngerasain dosen pembimbing yang fast response, tapi cuma buat ngasih revisi 7 halaman dalam waktu 3 menit? Atau malah sebaliknya, dibalas seminggu kemudian cuma dengan satu kalimat: 

“Coba diperbaiki lagi ya.” 

Kondisi pembimbing yang unpredictable ini bikin mental mahasiswa jadi rawan goyah. Bahkan bisa saja jadi bikin malas buat ngerjain skripsi.

“Dosenku lagi mood baik gak ya?” 

“Apa gw ganggu waktu beliau?” 

“Harusnya aku kirim draft jam berapa supaya gak diabaikan?” 

Overthinking tentang hubungan dengan pembimbing bisa menguras energi dan bikin kamu enggan buka WhatsApp atau email. 

Kamu gak sendirian kok, ini salah satu sumber kecemasan kolektif mahasiswa se-Indonesia. 

Perbandingan Sosial

“Lah, Dia Udah Sidang?” 

Scroll media sosial dan tiba-tiba lihat story teman yang upload toga atau caption “Finally done with my thesis”. MAMPUS.

Rasanya kayak ditampar pakai PDF 100 halaman. Kita jadi membandingkan progres sendiri dengan orang lain: 

“Dia udah bab 5, gw masih bingung bab 1.”

“Kayaknya dia ngerjainnya gampang banget, kenapa gw stuck terus?” 

Padahal, setiap mahasiswa punya pace dan tantangan masing-masing.

Tapi karena media sosial hanya menampilkan highlight, kita lupa bahwa mungkin di balik toga itu, ada air mata dan begadang yang gak sempat diposting. 

Beban Harapan

Dari Keluarga, Diri Sendiri, dan Timeline Hidup Skripsi sering dikaitkan dengan harapan besar. Orang tua berharap kamu cepat lulus, biar kerja, biar mapan, biar cepat nikah (ya kan?).

Kamu sendiri mungkin sudah menargetkan umur sekian harus lulus. Tapi ketika kenyataan gak sesuai rencana, muncul deh overthinking: 

“Apa gw ini gagal ya?”

“Lulusnya telat, kerja juga belum jelas, mau jadi apa?” 

Skripsi jadi simbol pencapaian hidup yang ditunggu-tunggu. Ketika progress-nya lambat, muncul rasa bersalah, malu, dan beban tak terlihat.

Padahal sebenarnya, gak ada deadline hidup yang harus sama buat semua orang!

Overload informasi = paralyzed by choices!

Saat ngerjain skripsi, kamu mungkin punya 20 tab terbuka: jurnal, Google Scholar, referensi, template skripsi, bahkan YouTube “cara cepat menyelesaikan skripsi”

Alih-alih makin paham, kamu malah makin bingung: 

“Metodenya kuantitatif atau kualitatif ya?”

“Kalau bab 3 pakai metode A, bab 4 cocoknya analisisnya gimana?” 

Terlalu banyak informasi tanpa arah membuat otak lelah sebelum mulai. Kamu jadi overthinking karena merasa semua harus sempurna dan sesuai kaidah akademik. 

Padahal, skripsi yang selesai itu jauh lebih baik daripada yang sempurna tapi cuma di kepala. 

Kurangnya Dukungan Emosional

Meski banyak yang bilang “Skripsi itu biasa aja kok,” tapi kenyataannya tidak semua punya support system yang bisa memahami perjuangan ini. 

Kadang, sekadar ditemani atau divalidasi bisa bikin semangat balik lagi. 

Sayangnya, banyak mahasiswa merasa sendiri dalam proses ini. 

Dan ketika kamu gak punya tempat cerita, pikiran jadi muter ke hal-hal negatif: 

“Apa aku satu-satunya yang ngerasa seberat ini?”

“Kenapa semua orang kelihatan kuat, cuma aku yang lemah?” 

Padahal banyak juga yang mengalami hal yang sama, hanya saja gak semua mau cerita. 

Jadi, Harus Gimana? 

Pertama, normalisasi bahwa skripsi memang berat. Gak semua orang bisa selesai dalam waktu cepat. Bahkan banyak yang nangis, revisi berkali-kali, dan sempat pengen menyerah—tapi akhirnya bisa juga. 

Kedua, coba breakdown tugas jadi bagian kecil. Fokus dulu ke satu bab. Lalu ke satu subbab. Bikin checklist, dan rayakan progres kecil. 

Ketiga, cari teman berjuang. Entah itu teman kampus, grup diskusi, atau komunitas online. Cerita, curhat, dan saling semangatin itu powerful banget. 

Keempat, istirahat. Kadang otak butuh jarak biar bisa berpikir jernih. Hiling ke taman, nongkrong sebentar, atau tidur cukup bisa menyelamatkan kamu dari mental burnout. 

Kelima, berdoa. Sebagai manusia beriman, libatkan Tuhanmu atas segala usaha dan kerja kerasmu. Jangan biarkan usahamu itu dibiarkan sendirian tanpa adanya hubungan baik dengan Tuhanmu. PERCAYALAH! Bahwa di setiap kesusahanmu pasti diberikan jalan untuk mengatasinya.

Penutup

Overthinking karena skripsi adalah hal yang sangat manusiawi. Skripsi bukan sekadar tugas akhir, tapi juga proses pendewasaan: kamu belajar bertahan, belajar disiplin, belajar kecewa, dan belajar bangkit lagi

Jadi kalau kamu lagi ada di titik capek, mau nyerah, atau merasa gak bisa... INGAT: kamu gak sendirian. Banyak yang merasa hal yang sama, dan mereka semua akhirnya bisa lulus. Dan kamu juga pasti bisa. 

Pelan-pelan aja. Gak apa-apa lambat, asal jalan. Dan jangan lupa: kamu lebih kuat dari yang kamu kira. Good luck!

Posting Komentar