HEADLINE
Mode Gelap
Artikel teks besar

Mengurai Asa dalam Bait: Enam Puisi Hati dari Ridwan Ramadhan

Siap-siap dibuat baper (atau mungkin flashback) sama beberapa koleksi puisi terbaru dari Ridwan Ramadhan.

Di sini, kita bakal diajak nyelamin berbagai rasa yang akrab banget sama kita: mulai dari rindu yang muncul tiba-tiba, jarak yang kadang bikin galau, sampai harapan yang pantang padam.

Tiap baitnya itu jujur banget, kayak lagi curhat, nunjukkin gimana perasaan bisa tumbuh, dijaga, dan terus bersemi.

Enam puisi hati dari Ridwan Ramadhan
Ilustrasi


Dalam diam ada rindu
Aku belajar diam
seperti tetes hujan yang jatuh tanpa suara
di halaman rumahmu
yang tak pernah lagi kutahu dimana letaknya.

Jarak tak pernah bersuara
tapi ia pandai menaruh jeda
di antara sapa dan senyummu
Ada rinduku yang tak pernah sempat pulang.

Kau membaca langit
mencari tanda dariku
padahal sudah kutitipkan rinduku pada angin
dalam sunyi yang kau kira udara biasa.

Aku tak pandai mengeja rasa rindu
maka kutulis dirimu di setiap pagi
yang datang terlalu lambat
dan pergi terlalu cepat.
Memeluk rindu
Kamu,
yang kupeluk lewat diam,
yang kutitip pada angin pagi
setiap aku tak sempat bicara pelan.

Ada rinduku yang tumbuh sunyi,
seperti daun yang jatuh
tapi tak pernah benar-benar pergi
dari pohonnya.

Kamu,
yang selalu kujaga dari jauh,
meski jarak tak pernah bisa
kubujuk agar mengerti.

Semoga semesta sabar menunggu,
sampai kita tak lagi hanya saling mendoa,
tapi saling bersuap di rumah kecil Impian kita
yang dibangun dari sisa-sisa harap.
Ada do’a dalam jarak
Aku mencintaimu
Dengan cara paling sabar
Kusimpan harapan di sela do'a
Kurajut rencana dari sisa lelah.

Kucintaimu dengan nada paling sunyi
Tak terdengar, tak terlihat, namun selalu ada.

Hanya ingin segera menggenggam
Meski dunia memisah
Tapi ku tak ingin menyerah
Kita tak sejauh itu
Hanya saja saling belajar
Menjadi layak satu sama lain
Sifat angin pada daun
Kupandangi angin yang sedang berjalan
Dibisikannya kata pada daun tua yang rapuh itu
Mungkin kabar buruk yang ia bawa
Hingga daun tua jatuh terbaring tak berdaya
Angin
Tiada yang sehalus angin pagi
Ditiupinya setiap pohon yang berdiri
Walau ia tak pernah berjanji
Namun ia selalu datang Kembali

Tiada yang sekuat angin Mentari
Dihilangkannya panas di atas bumi
Walau usaha tak ada yang menghargai
Namun ia tetap datang Kembali

Tiada yang sesunyi angin gulita
Ditemaninya insan yang kecewa
Walau dingin yang selalu ia bawa
Namun ia selalu mengobati luka
Bulan dina aisan
Keun antepkeun di dieu rék digoroan nyai kadeudeuh kuring

Nyi, asa ngimpi pisan nempo bulan nyampeurkeun.
Lalaunan bulan téh turun ti langit.
Bray lalaunan nyaangan urang nu duaan paanggang.
Reup dipeureumkeun ieu panon téh.
Nu ngalangkang saukur imutna nyai.
Ti kaanggangan kabayang seuri anjeun kacaangan cahya bulan.
Teu karasa, bulan geus nepi kana aisan.
Éndah pisan, Nyi.
Antara bulan jeung anjeun, sarua geulisna.

Itulah beberapa koleksi puisi dari Ridwan Ramadhan. Secara keseluruhan, keenam puisi ini benar-benar bikin kita ikutan ngerasain gimana rasanya mencintai dalam diam, rindu walau berjauhan, dan berharap dalam sepi.

Penulisnya jago banget nuangin perasaan yang dalam dan lembut lewat simbol-simbol dari alam, kayak angin, hujan, bulan, dan daun. Semua itu jadi cerminan dari cinta yang mungkin enggak diucapin, tapi terus hidup dan kuat banget. Ada sabar, tulus, dan sedikit getirnya juga yang nyampur jadi satu.

Rasanya penulis mau bilang, cinta sejati itu enggak selalu tentang ketemu fisik, tapi justru bisa tumbuh makin kuat pas lagi jauh, lewat doa-doa yang enggak kedengaran, dan harapan yang terus dijaga walau dunia lagi enggak berpihak.

Posting Komentar