HEADLINE
Mode Gelap
Artikel teks besar

Tragedi Perundungan dan Luka yang Tak Terlihat

Dunia pendidikan kembali terguncang. Kabar pilu datang dari seorang remaja SMA di Garut yang berpulang, dugaan kuat ia bunuh diri akibat stress karena perundungan. Kisah ini bukan sekadar berita, tapi tamparan keras bagi kita semua.

Ia meninggal bukan karena penyakit atau kecelakaan, melainkan karena luka tak kasat mata yang terus menggerogoti. Ini bukan lagi soal "kenakalan remaja" yang bisa disepelekan, ini adalah teriakan yang menuntut perhatian kita semua.

Tragedi Perundungan dan Luka yang Tak Terlihat
Ilustrasi

Mirisnya, banyak sekolah bangga dengan label "anti-perundungan", tapi seberapa dalam sih budaya itu benar-benar tertanam? Kita sebagai orang tua pun seringnya cuma sibuk mengejar nilai bagus, lupa bertanya: apakah anak kita bahagia di sekolah?

Apakah mereka aman? Saat korbannya anak orang lain, kita cuek. Saat anak kita jadi pelaku, kita malah membela atau menyalahkan korban. Tapi begitu anak kita sendiri jadi korban? Barulah dunia serasa runtuh. Ini bukan lagi main-main.

Siapa Saja yang Berperan dalam Lingkaran Perundungan?

Jangan salah, bullying itu bukan cuma soal dua pihak: korban dan pelaku. Ada lima peran yang saling berkaitan, seperti roda gigi yang berputar dalam dinamikanya:

  • Korban: Mereka yang merasakan sakitnya.
  • Pelaku: Sang penyebab luka.
  • Pendukung: Ini yang bahaya. Mereka yang memberi "semangat" ke pelaku, entah aktif ikut nge-bully atau pasif dengan ikutan ketawa/mendiamkan.
  • Penonton: Yang melihat tapi cuma diam membisu, takut ikut campur. Diamnya mereka bisa jadi angin segar buat pelaku.
  • Pembela: Nah, ini pahlawannya. Mereka yang berani maju, membela korban, dan berusaha menghentikan bullying.

Seringnya, kita cuma fokus ke pelaku dan korban. Padahal, kalau saja peran-peran lain ini mau berubah—dari pendukung jadi penonton, atau dari penonton jadi pembela—pasti banyak bullying yang bisa dicegah.

Tapi realitanya?

Kebanyakan dari kita, baik anak-anak maupun orang dewasa, lebih nyaman jadi penonton. Diam!

Dan ingat, diam itu seringkali masuk kategori pelaku pasif. Mungkin saja tragedi yang menimpa adik SMA itu terjadi karena sebagian besar siswa dan guru juga ikut mendiamkan pelakunya.

Perundungan Bukan Tanpa Alasan: Menguak Latar Belakang Pelaku

Tahu nggak, pelaku bullying itu seringkali juga korban? Iya, mereka bukan ujug-ujug jadi jahat. Biasanya, ada luka batin yang dalam atau masalah serius yang belum terselesaikan. Bisa jadi mereka tumbuh di lingkungan yang keras, atau dipaksa hidup dalam tekanan.

Amarah yang menumpuk ini kemudian dilampiaskan dengan cara mendominasi orang lain yang mereka anggap lebih lemah.

Sekolah sering jadi "medan perang" mereka, tempat di mana mereka merasa bebas melampiaskan frustrasi. Kalau di rumah mereka jadi "korban", di sekolah mereka bisa jadi "penindas".

Kalau di rumah, sekolah, atau masyarakat tidak ada yang peka membaca sinyal ini, maka lingkaran bullying akan terus berputar. Jadi, orang tua, jangan cuma takut anak jadi korban, tapi juga takut kalau anak kita ternyata jadi pelaku.

Kita harus lebih peka menangkap perubahan sikap anak, baik itu potensi jadi pembully maupun jadi korban.

Kenali Benihnya: Deteksi Dini Perundungan Sebelum Merebak

Bullying itu nggak langsung jadi "monster" besar yang mematikan. Dia tumbuh pelan-pelan, dari hal-hal kecil yang sering kita anggap remeh atau "biasa aja". Sekolah yang peduli harus punya "radar" yang kuat buat mendeteksi benih-benih awal ini.

Contohnya?

Bisa jadi ejekan yang diulang-ulang, julukan yang menyakitkan, gosip yang diam-diam menyebar, atau komentar meremehkan buat anak yang dianggap berbeda.

Dari situlah, kekerasan bisa terus merayap, tumbuh jadi sistematis dan berbahaya. Kenapa sistematis? Karena sistemnya diam dan nggak peduli. Candaan kasar yang nggak dihentikan bisa berubah jadi hinaan yang melukai harga diri. 

Cemoohan kecil bisa jadi awal pengucilan. Dan kalau nggak ada yang membela, kalau semua orang cuma nonton, pengucilan itu bisa jadi kekerasan mematikan.

Bentuk bullying sendiri banyak banget ragamnya:

  • Fisik: Dorongan, pukulan, atau ancaman melukai.
  • Verbal: Kata-kata kasar, ejekan yang merendahkan, yang diulang-ulang sampai korban merasa harga dirinya hancur.
  • Sosial: Pengucilan, fitnah, sengaja dijauhi sampai korban kesepian.
  • Digital/Siber: Ini yang makin marak. Komentar jahat di medsos, nyebarin foto tanpa izin, atau tekanan lewat grup chat.

Semua bentuk ini, kalau dibiarkan sejak bibitnya, bisa membakar habis rasa aman seorang anak. Kalau kita nggak peka, mungkin kita sedang menyaksikan nyawa-nyawa kecil yang padam perlahan, tanpa sempat kita peluk.

Jadi, kenali benihnya, dan cegah dia tumbuh jadi api yang menghanguskan! Sekolah wajib punya program khusus anti-bullying yang fokus membangun empati.

Hukum Ada, Tapi Kenapa Keadilan Sulit Diraih?

Di tengah semua luka ini, muncul pertanyaan besar: "Apakah korban benar-benar dilindungi? Bisakah pelaku dihukum setimpal?"

Jawabannya: YA, perlindungan dan hukuman itu ada.

Secara hukum, Indonesia punya Undang-Undang Perlindungan Anak No. 35 Tahun 2014 yang tegas bilang kalau segala bentuk kekerasan (fisik atau psikis) terhadap anak itu pidana. Kalau sampai bikin luka berat, apalagi menghilangkan nyawa, pelakunya bisa dipenjara sampai 15 tahun dan denda miliaran rupiah.

Belum lagi KUHP yang juga menjerat berbagai bentuk bullying lewat pasal penganiayaan berat, pengeroyokan, pencemaran nama baik, sampai yang mendorong orang bunuh diri.

Semua payung hukum ini menunjukkan kalau negara hadir untuk melindungi. Tapi masalahnya ada di implementasi. Hukum nggak bisa jalan sendiri.

Dia butuh kita semua untuk berani bersuara, melaporkan, dan mendampingi korban supaya keadilan benar-benar terwujud di masyarakat.

Saat Perundungan Terjadi: Apa yang Harus Kita Lakukan?

Ketika bullying menghantam, ini beberapa langkah konkret yang harus diambil:

  • Orang Tua: Buka telinga dan hati buat anak. Biarkan mereka cerita tanpa takut dihakimi. Dengarkan sungguh-sungguh, dan kalau perlu, dampingi mereka ke psikolog.
  • Pihak Sekolah: Jangan diam! Wajib respons cepat dengan investigasi. Utamakan perlindungan korban, lalu tindak lanjuti sesuai aturan negara. Menutup kasus bullying sama saja mengubur bom waktu yang siap meledak.
  • Masyarakat Sekolah (Siswa & Guru): Jangan cuma jadi penonton! Hadirlah sebagai pembela aktif. Dukung korban, laporkan pelaku, dan bangun budaya saling peduli, bukan sekadar mendoakan.

Mari Bangkitkan Solidaritas: Sebuah Kampung Mendidik Anak Bangsa

Kita sering dengar, "butuh satu kampung untuk membesarkan satu anak." Tapi hari ini, ungkapan itu seringnya cuma jadi slogan kosong di spanduk. Padahal, ini adalah panggilan untuk bertindak bersama!

Di sinilah pentingnya kita menghidupkan kembali "fitrah komunal" kita.

Lingkungan yang bebas dari bullying akan tercipta kalau sekolah, rumah, dan masyarakat kita jadi tempat aman bagi semua anak, dengan segala keunikan dan latar belakangnya, untuk tumbuh tanpa rasa takut.

Sayangnya, kita makin individualistis, terlalu sibuk atau malas peduli urusan anak orang lain. Kita butuh semua pihak—dari warga sekolah, tetangga RT, sampai tokoh masyarakat dan agama—untuk menghidupkan kembali rasa "menjaga" sesama, termasuk generasi masa depan bangsa ini.

Anak yang tumbuh dalam pelukan komunitas adalah anak yang tahu dia tidak sendirian. Dia percaya, meski jatuh, akan ada tangan yang menolong. Bahwa berbeda itu bukan berarti salah. Bahwa dunia ini, meski tak selalu ramah, masih punya cukup cinta untuk melindunginya.

Referensi : Rachminawati (kompasiana.com/rachminawati2217)

Posting Komentar